[Juwita: Bagian 1]
Part 1.
Seperti bagaimana matahari terbit tanpa meminta izin kepada malam, menghadirkan begitu saja semburat fajar jingga kemerahan.
Atau begitu juga dengan gagah perkasanya awan-awan mendung menutupi cerahnya langit, menghadirkan abu-abu menyelimuti biru-biru.
Kemudian bulan dan bintang tidak ditiup angin atau pun ditarik paksa oleh gelap malam, datang penuh sukarela menerangi hitam-hitam langit. Menghadirkan cahaya lembut memanjakan, meneduhkan, menemani istirahat bumi dan seluruh isinya yang kelelahan.
Atau mengenai siang hari matahari tinggi-tinggi di langit, menumbuhkan bunga-bunga mempesona, meniupkan hawa panas meskipun tidak ada yang memintanya, tanpa adanya sebuah penghargaan akan betapa kuasanya menggerakkan kehidupan di tanah dan air-air.
Part 2.
Adalah kamu barangkali dihadirkan oleh mentari pagi, bersama merdu bunyi-bunyian burung gereja, daun-daun yang mulai berfotosintesis dan menelurkan embun-embun basah, segar udara di awal-awal hari, gelisah dan resah menunggu hilangnya kabut. Oleh semua itu sehingga hadirmu membawakan kesejukan dan kemurahan hati dari hidup dan kehidupan ini. Bersama dengan munculnya pelan-pelan, tumbuhnya perasaan dan emosi-emosi yang menghadirkan gejolak-gejolak yang membingungkan.
Atau bisa jadi kamu dihadirkan oleh mendung-mendung yang sedih, supaya tidak ada lagi kemurungan, digantikan cahaya mata dan mata hati, jiwa yang mengobati jiwa lara, dan degup jantung berdebar lebih kencang sebab dihadirkanlah dirimu di hadapanku begitu saja.
Barangkali matahari bersinar terang, seingatku, saat pertama kali kita bertemu atau mungkin aku gugup saja. Sebab apa, berkeringat luar biasa dahi dan hidungku, memberikan respon gugup dan begitupun kamu yang sama juga demikian.
Di tengah malam, saat raga mulai mengistirahatkan dirinya, bagaimana pula kamu dihadirkan, seolah-olah bulan dan bintang sepakat setiap malam menghadirkanmu di pelupuk mataku, dibisikkan suaramu melalui perantara angin-angin malam yang syahdu. Sekelebat-sekelebat bayangmu hadir di tengah hitam-hitam malam, dingin-dingin hari seperti hangat diselimuti oleh harapan-harapan yang kamu hadirkan.
Part 3.
Menghadirkanmu sepertinya adalah salah satu bukti bahwa Tuhan Mahakuasa atas segala sesuatunya. Entah bagaimana dipertemukan, dihadirkan, diselubungkan dirimu, supaya berpapasan dan berjalan-jalan, dalam langkah-langkah kecil, hidupmu melintasi jalur hidupku. Tiada maksud pada awalnya, atau lebih jauh lagi upaya-upaya yang dilakukan lebih kepada menghadirkan kesempatan.
Tumbuh dan tumbuhlah apa yang terpercik pada awalnya, lalu percikan berubah menjadi gelombang-gelombang, lalu ombak-ombak membawa kita pada naik-turun—kita hadapi, tentunya.
Lalu kemudian kompas-kompas dibalik bintang dan laju angin, memalsukan kedua manusia ini supaya berlabuh di titik-titik tertentu, kemudian berpindah ke titik-titik selanjutnya, membentuk garis panjang membentang, membentuk suatu harapan-harapan akan masa depan yang penuh kebersamaan.
Part 4.
Terima kasih dunia, bumi dan isinya, atas kehadiranmu.
Dan terima kasih Tuhan, karena telah menghadirkanmu.
Juga terima kasih kamu, sebab telah bersedia dihadirkan,
Oleh alam semesta, bumi dan isinya yang entah apa, kepadaku.
Sebab entah bagaimana caranya,
Aku senang, karena kehadiranmu.
Dan aku bersyukur atas itu,
Semoga kamu pun berpikiran begitu.
Supaya pada saatnya, jika memang ada takdirnya,
Entah bagaimana:
Aku menghadirkanmu, untuk menghadirkanku.
Kamu menghadirkanku, untuk menghadirkanmu.
Menghadirkan, melalui aku dan kamu, mengilhami kehadiran-kehadiran yang berikut-berikutnya juga,
Untuk Tuhan dan alam semesta.
Comments
Post a Comment