Sketsa 1: Konser

Suatu sore, matahari malu-malu dan mendung cenderung mengambil alih peran pengendali langit. Macet dimana-mana karena di kota ini memang sudah seharusnya jalanan selalu begitu. Dia terduduk di bangku ke delapan dari depan, berbaju rapi dan rambut klimis, wangi, dan gugup. Dipegangnya selebaran tiket konser yang sudah diperhitungkan dengan baik kapan mulai dan berakhirnya, dan dia semakin tidak tahu pasti akan seperti apa. 

Dia suka musik, tapi keramaian bukanlah sahabat buatnya. Namun, kehadiran yang satu itu jelas mengikat minatnya pada konser secara serta merta. Ah, jika diputar lagi waktu secara terbalik, konyol sekali dia ketika menyetujui tawaran untuk menghadiri konesr itu. Di waktu sibuk, sore hari, dan kegilaan lalu lintas diterjangnya secara senyum-senyum sendiri sepanjang jalan. Lampu merah menjadi hijau dan rambu lalu lintas baginya tidak berarti apa-apa kecuali ingin segera sampai.

Dua jam, dia tiba di gedung itu, baru pertama kali ke sana dan tidak ada rencana untuk ke sana lagi. Perasaannya semakin tidak karuan, dibayangkannya ruang-ruang intens dan celah sepuluh detik yang dia susun matang-matang khusus untuk mendapatkan perhatian dari si empu konser. Cukup sepuluh detik, ruang sempit empat lantai disusun jadi persegi, dan seorang manusia yang dia harapkan terjadi. Lalu lapar sekali dan dua temannya hadir mengangkatnya dari bak khayalan terisi penuh dengan gayung berisi gemerisik tamparan suara lambung. 

Satu jam penuh basa-basi kadaluarsa, sepiring makanan kelewat mahal, pelayan dan restoran yang lamban sekali dalam melayani, membuat sore itu tidak terlalu mengenyangkan. Tapi, perut tenang sementara waktu, kantong tidak demikian. Mereka berjalan menuju ruang besar dengan jajaran kursi tersusun rapi, setting panggung bertema tertentu yang terlalu ramai dan dia tidak peduli. Dia selalu tidak peduli. Lalu berlalu lalang orang-orang, jumlahnya tertentu tapi anggap tidak tertentu karena buat apa dihitung? Dan, dia duduk, mereka duduk bersebelahan, dan teman kami lainnya yang tiba-tiba bertemu, sering begitu kita alami, dan teman laki-lakinya duduk. 

Lampu-lampu mati, selalu begitu di semua awal konser, dan beberapa penampil unjuk gigi dan hasil latihan keras mereka. Tahu darimana dia tentang latihan keras? Sok tahu! Intinya mereka main bagus, meskipun dengung-dengung baginya terasa sama saja. Suara-suara ayunan instrumental bagi dia hanya berputar pada tangga nada berisi nama yang satu padahal nama itu tidak ada pada tangga nada. Biarkanlah, namanya saja cerita ini hanya sketsa. Dia intinya tidak begitu mendengar semua isi konser itu.

Konser itu buat dia tidak berlangsung lama, jejak waktu kontinu dia pecah, berubah jadi diskrit-diskrit detik dimana objek utama yang menginisiasi kehadirannya di gedung kotak itu hadir. Perasaannya terpecah belah, hancur berkeping-keping, dan linglung, panik, dia terbawa perasaan. Tidak, perasaan membawanya, mencekoki dengan keindahan sang objek, mimpi-mimpi dan khayalan itu berada di depannya. Dan seluruh kotak menjadi empat lantai persegi, celah waktu menjadi sepuluh-sepuluhan detik yang memendek dan membawanya duduk lebih dekat ke panggung. Menyentuh dengan melihat, merasakan dengan mendengar, dan seterus-seterusnya.

Demikian konser, dan kemudian ditutup dengan kemewahan berlebihan yang intens. Mereka bersegera bangun dari duduk. Dia bangun terakhir, alasannya karena selain bangun dari duduk, dia juga bangun dari kotak kahyangan, turun ke bumi, dan perlu berjibaku dengan gesekan atmosfer realita versus idealitas yang berbanding terbalik, jadi lama. Si penampil berjalan ke arah kami, meskipun dalam pandangannya hanya ke satu arah, lurus ke arahnya, dan mengucapkan terima kasih. Itu adalah terima kasih paling penuh cinta kasih sepanjang masa, yang frekuensi suaranya mudah untuk terkenang. Dan seterusnya dia berfoto bersama teman-teman dan penampil. Diinginkannya foto berdua dengan man of the match malam itu, si inspirasi, tapi urung karena bukan tidak mau, tapi, takut terlalu mau dan jadinya tidak mau. Besar keinginan dia untuk bercakap-cakap lebih jauh tapi waktu tidak tepat, karena memang dalam kasus dia dan penampil tidak pernah waktu mengenal kata tepat.

Demikianlah konser, berlalu begitu saja. Buatnya, itu semacam momentum yang bukan spesial, tapi sulit terlupakan. Entah apa yang ada di mata penampil tentang kehadirannya. Tapi, buatnya itu sudah tidak penting lagi karena masalah dia dan si penampil adalah masalah pribadi yang memang harus diselesaikan sendiri, dengan diri, hatinya, dan waktu yang kapan akan mendukungnya pun dia tidak tahu dan tidak yakin. Buatnya, sketsa dan mimpi, lalu ideal-ideal adalah semacam teori, konsensus, yang diamini meski tidak terjadi, yang terkurung dalam ruang-ruang probabilitas yang semu, dan dia harus terus berjalan di atasnya karena begitulah cara dia bertahan di garis realita yang menunggunya, sampai sketsa dan realitas dapat bertumbukan yang mustahil tapi jika didoakan mungkin akan mustajab dengan mukjizat.

Comments

Popular posts from this blog

2023: Sebuah Rangkuman

Ode of A Farewell.

too fall, too love.