Melati Dan Lain-Lain

Daun Pintu

Aku bangkitkan tubuhku dari kursi,

Lalu dilangkahkan kakiku menuju daun pintu,

Terbukalah, dan terbukalah pintu kamarku,

Seketika, angin sejuk Bandung mengusap wajahku,

Dia, bersama gradien temperatur antara kamarku dan udara luar,

Memberikan sensasi tertentu yang sulit dijelaskan.


Oleh angin, dan sekumpulan air di dalamnya,

Dibawalah aku terbang, pelan-pelan, melintas awan

Naik, turun, melintasi tempat-tempat, semakin jauh

Maju, mundur, menembus garis-garis waktu, masa kini, nanti, masa lampau

Aku berputar-putar bersama mereka, ditemani benda-benda langit

Menjelajahi Bandung, menjelajahi dunia, semuanya


Berlawanan Arah Jarum Jam

Aku putar arlojiku berlawanan arah jarum jam

Supaya bisa kutatap kembali masa lalu, jauh-jauh

Dan ku perhatikan betapa Tuhan telah banyak menolongku

Sedang tanpa-Nya, aku sudah pasti berkali-kali "tidak tertolong lagi"


Aku putar tubuhku berlawanan arah jarum jam, mabuk, mabuk

Supaya mampu kuberanikan diri mengingat dosa lampau itu

Dan ku perhatikan betapa pemaafnya Tuhan pada diriku

Jika bergerak jarinya menghukumku, tiadalah aku melainkan seonggok abu


Mengapa Aku Jadi Khawatir Begini?

Mengapa aku khawatir begini?

Mengapa aku jadi khawatir begini?

Mengapa? Padahal tidak terjadi apa-apa!


Melati

Aku semaikan benih melati,

Lalu kusiram air, dipupuk, dijaga

Sampai tumbuh bunga-bunga melati, 

Cantik sekali, harum, dan wangi


Hidup Terserah

Semakin dewasa diriku, semakin ku yakin bahwa aku mampu menebak arah hidup

Hari ini begini, maka besok akan begitu, dan dua hari ke depan pasti seperti yang itu

Nyata-nyatanya, tidak demikian yang terjadi, malah sebaliknya yang menimpaku


Semakin tua aku, semakin bodoh diriku dalam merencanakan, memprediksi,

Aku semakin bingung, kompleksitas masa depan menjadi sangat kompleks, pleks, pleks!

Hidup menjadi seperti jalinan bola wol yang sulit terurai, berkelindan ke sana-sini


Hidup kadang membawaku berekspektasi tinggi di satu detik tertentu

Sedetik kemudian, dia sukses membawaku pada situasi "harap-harap cemas"

Di detik ketiga, hidup menarikku untuk memikirkan apa yang sebenarnya ingin dia berikan padaku di dua detik sebelumnya


Terserahlah!


Aspirasi

Sesungguhnya, aku memiliki setumpuk tinggi keluhan

Lalu di puncak tumpukan itu, ada setumpuk lagi aspirasi

Kemudian, di tumpukan ketiga, adalah kritik dan saran


Tapi, aku pikir diriku tidak cukup kompeten untuk menyampaikannya

Lainnya, aku tidak begitu yakin dengan semua itu, aku masih ragu apakah mereka benar

Dan terutama, aku malas untuk mendbat respon orang-orang terkait hal-hal semua itu


Maka, aku kunci mulutku supaya tetap tertutup, dibungkamnya dia olehku, rapat-rapat

Dan aku rantai kedua tanganku erat-erat, kuncinya aku buang ke laut lepas

Aku pasung pikiran-pikiranku, supaya dia tidak berkeliaran memikirkan banyak hal


Seperti yang aku dengar dari dunia, bahwa diam itu emas, dan sebagian ocehan adalah sampah

Dan yang aku ingat dari masyarakatnya, bahwa ketidaktahuan adalah sumber keberuntungan

Sehingga beginilah aku, memilih diam, berusaha tidak cari tahu supaya tidak tahu, persetan!


Apa, kau menganggapku salah? Kurang ajar? Tidak memiliki nurani?

Tidak setuju denganku? Harusnya begini dan begitu? Apatis dan tidak berbudi?

Tidak kah sudah jelas ku paparkan di atas bahwa aku persetan pada pendapatmu semuanya?!


Off-road

Semakin banyak jumlah putaran yang telah dilewati, 

Semakin mendekati akhir kompetisi, 

Ketika diri mulai berpikir, "Sedikit lagi sampai!"

Tidak berkurang jumlah tanjakannya, melainkan bertambah

Tidak semakin halus jalannya, justru semakin terjal, batu dimana-mana

Lumpurnya semakin basah, parit-parit menjadi curam dan dalam, membahayakan

Seiring waktu, semakin lama, semakin dekat dengan gelar juara,

Semua berubah semakin ekstrem, menegangkan, semakin menyenangkan!


Hidayah

Seperti sinar matahari, dia tidak pernah absen menyinari

Hanya pilihannya ada di tanganmu, apakah bersedia membuka tirai jendela?

Membiarkan hangatnya memelukmu, sinarnya membuka pintu akalmu?


Tentu, kau boleh sekali memilih bertahan dalam kegelapan, nikmat-nikmat yang sementara, dan sesat jalan?

Jangan salahkan matahari jika kelak dirimu dipenuhi kegelapan, dingin, ketakutan!

Sedangkan dia selalu setia menunggumu menjemput sinarnya, menyerap hangat-hangat damainya!


Berpasrah Diri

Tidak cukupkah semua kecemasan, kebingungan, dan kegelisahan selama ini

Untuk membuatmu berhenti berpikir mengandalkan otakmu, untuk mencari keadilan atas usahamu?

Atau mengira-ngira yang tidak terkira dengan seluruh kemampuanmu, memaksakan kehendak?

Bukankah sudah jelas bahwa kau tidak mampu menentukan hasil sama sekali, semuanya di luar kehendakmu, kan?


Mengapa tidak mencoba suatu langkah revolusioner baru?

Misalnya, setelah berusaha semampunya, sekeras-kerasnya, bagaimana jika kita tidak berekspektasi?

Biarkan saja semua usaha itu bekerja dengan cara mereka sendiri, memberikan yang terbaik untuk kita?

Bukankah semesata sejatinya adalah gabungan unsur-unsur keadilan yang berputar secara kontinu? 


Hasil akhir adalah sesuatu yang di luar kehendak umat manusia, tiada kuasa kita atasnya

Bagian kita adalah mengusahakan kebaikan, baik budi, simpati, sebisa-bisanya

Bagian kita adalah memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, memperbaiki diri, dan seterusnya

Dan yang utama, bagian kita adalah berpasrah diri setelah semua itu, biarkan semesta bekerja


Seperti seharusnya, semua berjalan seperti seharusnya

Tidak, tidak satu pun berjalan seperti kehendak kita, seperti yang kau minta

Jika antara keduanya sejalan, itu berarti rezeki kita, keberuntungan kita, kasih sayang semesta, dan boleh jadi balasan untuk semua amal baik kita selama ini, entahlah, tidak ada yang tahu, dan memang bukan bagian kita untuk mengetahuinya


Sebuah Permainan

Mari kita mainkan sebuah permainan, 

Ya, kita berdua, bersama-sama


Peraturannya sebagai berikut: 

Jika kau menginginkanku, kau angkat tangan kananmu

Jika kau tidak menginginkanku, kau angkat tangan kirimu

Jika kau masih bimbang, kau harus berjanji akan mengangkat kedua tanganmu, 

Menyampaikan kebimbangan itu pada-Nya, dan meminta petunjuk hanya pada-Nya.


Dan, demikian pun aku:

Jika aku menginginkanmu, aku angkat tangan kananku

Jika aku tidak menginginkanmu, aku angkat tangan kiriku

Jika aku masih bimbang, aku harus berjanji akan mengangkat kedua tanganku, 

Menyampaikan kebimbangan itu pada-Nya, dan meminta petunjuk hanya pada-Nya.


Selanjutnya:

Jika ternyata kita sama-sama mengangkat tangan kanan

Maka Dia menghendaki kita untuk bisa bersama-sama, selamanya

Yang mengangkat tangan kanan harus ridho, dan yang mengangkat tangan kanan harus ridho


Namun, jika kelak kita sama-sama mengangkat tangan kiri

Maka Dia menunjukkan kita untuk saling menyampaikan sampai jumpa, mendoakan satu sama lain

Yang mengangkat tangan kiri harus ridho, dan yang mengangkat tangan kiri harus ridho


Adapun, jika kita tidak mengangkat tangan yang sama, kau kanan, aku kiri, atau sebaliknya

Maka Dia menghendaki kita untuk mencari partner bermain yang baru, yang jauh lebih baik untuk kita

Yang mengangkat tangan kiri harus ridho, dan yang mengangkat tangan kanan harus ridho


Namun, perlu diperhatikan, sebelum permainan ini benar-benar kita mulai, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi:

Kau dan aku harus meyakini bahwa kita benar-benar bodoh dan tidak tahu, dan Dia yang paling tahu

Kau dan aku harus percaya betul, segala keputusan-Nya, adalah yang terbaik bagi kita berdua

Jika salah satu dari kita tidak yakin, tidak percaya, maka dia dilarang terlibat dalam permainan ini









Comments

Popular posts from this blog

2023: Sebuah Rangkuman

Ode of A Farewell.

too fall, too love.