Mencuci dan Tradisi Unik, Dalam Dua Pembawaan

Mencuci (1)

Pernahkah kamu merasa enggan untuk melakukan suatu kegiatan, padahal itu baik, hanya karena kamu merasa aktivitas itu sangatlah merepotkan, menyebalkan, tidak praktis, atau karena alasan-alasan lainnya?

Selama aku berkuliah, merantau (meskipun tidak jauh dari rumah), ada satu aktivitas yang memenuhi kriteria tersebut, yaitu mencuci pakaian. Kurang lebih selama tiga tahun berkuliah (tatap muka) yang lalu, aku hanya satu atau dua kali saja mencuci pakaian, yaitu di awal-awal kuliah, saat masih semangat-semangatnya. Setelah itu, aku selalu menitipkan pakaianku ke laundry, semuanya! 

Keputusan tersebut aku ambil karena setelah satu-dua kali mencuci, aku merasa mencuci itu buang-buang waktu saja, tidak praktis, merepotkan. Lagi pula, ada fasilitas laundry di dunia ini, mengapa tidak aku memanfaatkannya saja, kan?

Namun, pada kesempatan kuliah yang "kedua" ini, aku berusaha menantang diriku untuk mencoba mencuci. Mulanya, aku mencuci karena diminta Ibu, katanya cobalah cuci pakaianmu yang kecil-kecil itu, jangan semuanya di-laundry. Tentu seperti sebelumnya, aku merasa mencuci ini merepotkan, dan aku ingin secepatnya berhenti mencuci sendiri.

Kali ini, aku ingin memandang aktivitas mencuci dari sudut pandang yang berbeda. Alih-alih aku memasang mindset bahwa mencuci ini menjemukan, ku ubah pola pikirku menjadi: mencuci adalah hal sederhana, masa kamu tidak bisa? 

Dengan pola pikir itu, aku merasa lebih tertantang untuk mencuci dan membuktikan bahwa aku bisa mencuci dengan baik. Setiap hari, aku mencuci, awalnya satu-dua yang kecil-kecil saja, hingga setelahnya aku semakin tertantang untuk mencuci pakaian yang besar-besar juga. 

Akhirnya, setelah memaksakan pandangan ku dan tekun mencuci secara rutin, aku merasa bahwa mencuci tidak seburuk kelihatannya, aktivitas ini bisa dibuat cepat dan simpel saja. Pandanganku bahwa mencuci ini buruk, nyatanya tidak seburuk itu, ternyata semua itu hanya perasaanku saja. Kini, mencuci adalah sesuatu yang menjadi rutinitas buatku, meskipun beberapa pakaian besar masih aku laundry karena keterbatasa jemuran di kamarku, hehehe.

Melalui perkembangan minatku dalam mencuci ini, aku mendapatkan insight bahwa kalimat:

"Mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil, mulai dari sekarang"

itu benar adanya. Dengan sedikit perubahan cara pandang dalam diri, mencuci menjadi lebih bisa dikompromi. Dengan memulainya dari yang sangat kecil, mencuci terasa lebih mudah dilakukan. Dengan memulainya saat ini juga, ditambah ketekunan untuk terus mengulang aktivitas yang sama, meski awalnya membosankan, aktivitas yang tampak buruk ternyata bisa cukup menyenangkan!

Selamat menemukan perjalanan "mencuci" versimu sendiri! 

Ingatlah: "Mulai dulu aja, nanti juga suka!"


Mencuci (2): Aku Tidak Suka

Aku tidak pandai mencuci, muak dengannya

Aku tidak suka mencuci, buang-buang waktu saja

Aku pada akhirnya mencuci, karena terpaksa

Aku berusaha mencintainya, karena mau tidak mau

Ah, ternyat mencuci mudah untuk dicintai, 

Aku mencintai mencuci, semoga mencuci juga mencintaiku, Aamiin.


Tradisi Unik (1)

Akhir-akhir ini, dalam beberapa kesempatan berwisata bersama, keluargaku menerapkan suatu tradisi baru. Tradisi ini menurutku cukup unik, karena (menurutku, tentunya) berlawanan dengan prinsip-prinsip dasar berwisata orang kebanyakan. Tradisi itu adalah meminimalisir dokumentasi selama perjalanan. Ya, alih-alih mendokumentasikan setiap kegiatan selama berwisata, menjinjing telepon genggam selama kemana-mana, kami justru menerapkan "kebijakan" sebaliknya. 

Selama di berwisata, ada sebuah peraturan yang diterapkan di keluarga kami, yaitu: tidak boleh menggunakan telepon genggam selama bersama-sama. Jadi, pada kesempatan wisata terakhir kami, aku, Ibu, dan adikku tidak mengeluarkan telepon genggam kecuali untuk dokumentasi yang terbatas. Bapak tetap membawa telepon genggam dan menggunakannya karena pekerjaan beliau menuntut respon cepat, jadi bukan untuk kepentingan dokumentasi. 

Bahkan, karena kentalnya tradisi tersebut di keluarga kami, ditambah memang kami bukanlah orang-orang yang suka berfoto, kami sampai harus membuat daftar foto apa saja yang harus diambil supaya tetap ada kenang-kenangan dari kegiatan berwisata yang kami lakukan--biasanya kami lupa.

Tradisi ini awalnya digagas oleh Bapak yang mengatakan bahwa tidak sepatutnya kami share aktivitas "pariwisata" ke orang-orang sekitar. Menurut beliau, hal itu menunjukkan minimnya simpati kami kepada orang lain, karena bisa jadi ada teman atau kerabat yang justru sedang berduka atau bersusah hati, menjadi dengki dengan melihat foto kami tersebut. 

Beliau berkata: "Jangan share foto saat makan, atau saat sedang bersenang-senang seenaknya, bisa jadi kerabat kita sedang kesusahan saat ini, kita harus tetap memahami!'.

Aku sejujurnya tidak begitu setuju dengan pernyataan Bapak tersebut, karena menurutku berbagi kesenangan di sisi lain bisa membawa kebahagiaan bagi orang lain, kan?

Namun, secara keseluruhan, aku sangat suka dengan tradisi baru keluarga kami ini. Hal ini karena dengan tidak mendokumentasikan setiap kegiatan, atau repot-repot menggunakan telepon genggam untuk update setiap saat, kami bisa lebih banyak menikmati setiap momen yang ada selama berwisata. Karena tidak ada kepentingan untuk sharing, kami justru bisa luangkan waktu untuk bercengkrama satu sama lain. Lagi pula, dengan tidak sharing momen-momen itu, kami jadi tidak perlu digerayangi perasaan takut akan di-judge oleh followers

Singkatnya, dengan tradisi ini, yang secara sederhana dijelaskan dalam kalimat: "Instead of busy capturing every moment, we choose to enjoy it--as long as we can", kegiatan bersama keluarga terasa lebih bermakna dan istimewa! 

Mungkin kamu punya pandangan berbeda tentang "tradisi" ini, tentu itu boleh-boleh saja. Namun, jika kalian ingin sesekali mencoba "tradisi keluarga kami", aku ucapkan selamat menikmati kebersamaan dengan lebih istimewa dan penuh makna! 

Sebagai pengingat, tentu waktu tidak akan terulang kembali, dan tentu dokumentasi bisa setidaknya mengembalikan kenangan akan waktu-waktu. Tapi ,percayalah, sekali pun ada jutaan foto dan video orang-orang tersayang yang terdokumentasi dalam telepon genggammu, kenangan akan sentuhan fisik penuh manja dan dialog-dialog tulus nan lugu bersama mereka lah yang akan lebih terpatri dalam hati, terkenang sampai mati! 


Tradisi Unik (2): Sembunyi-Sembunyi

Aku ingin bersamamu, hanya denganmu saja

Tidak, yang lain tidak boleh tahu, ini rahasia kamu dengan ku

Kalau mereka tahu, jadinya aku tidak bersamamu saja, tapi bersama mereka juga, sebal!


Tidak, jangan dibagi-bagi, istimewamu buatku saja, 

Waktu-waktu ini jangan dibuang untuk mereka, kita tabung kenangan untuk nanti

Momen-momen ini, cukuplah buat aku dan kamu, dikenang seluruhnya buat berdua, saja!





Comments

Popular posts from this blog

2023: Sebuah Rangkuman

Ode of A Farewell.

[[let's talk about love, once again]]