Sang Penulis

Prolog
Kita dapat melihat banyak bertebaran cinta-cinta di muka bumi ini. Sebagaimana kata kerja lainnya, cinta memiliki subjek dan objek, yaitu yang mencintai dan yang dicintai. Melalui tulisan ini, aku berusaha untuk menuangkan pikiranku mengenai subjek dari cinta, yaitu mereka yang mencintai. Dalam hematku yang amat hemat, pada tulisan ini aku coba sampaikan perumpamaan yang ku ciptakan untuk menggambarkan jalan pikiran sang pencinta. Terlepas akurat atau tidak, setuju atau menolak, tidaklah jadi masalah karena semua tentunya hanya dari sudut pandang pribadiku. Selamat menikmati!

Babak 1. Sang Penulis
Teman-teman, pada suatu sore, aku terbangun dari tidur dan berpikir mengenai mekanisme jatuh cinta. Ku pikirkan bahwa sejatinya orang yang jatuh cinta itu seperti seorang penulis—apa pun yang dia tulis. Sang penulis ini berkarya dengan sebatang pena, semangkuk tinta, di atas hamparan kertas-kertas bertebaran dimana-mana. 

Babak 2. Alat Menulis
Pena, pena-nya adalah hati nurani tempatnya menentukan keputusan hidup. Tinta, tintanya adalah buih-buih larutan cinta dan kasih sayang, dibubuhi warna-warni pengharapan akan ketersediaan yang dicinta untuk memperhatikan dirinya. Kertasnya adalah tingkah laku gugup dan tanpa arahnya ketika tersipu malu dengan dirinya sendiri, yang bingung saat bertemu yang dicintai.

Jadi begini, ketika seseorang jatuh cinta, tiba-tiba saja pena hatinya yang kering, menjadi basah oleh tinta-tinta cinta kasih yang merembes kesana-kemari. Entah dari mana tinta itu muncul, seketika saja pena-nya sudah basah kuyup. Sang penulis kini dipaksa menggerakkan tangannya untuk menulis, sebanyak-banyaknya, di atas kertas pembuktian-pembuktian penuh keterpaksaan, tanpa rencana, tanpa sketsa, dicoretnya saja kertas-kertas itu. Dituliskannya semua cerita yang dia ketahui tentang yang dicinta, semua angan dan harapan yang semu, atau bahkan sketsa tempat duduk para tamu undangan ketika resepsi nanti yang entah apa mungkin terjadi. Terus, terus, begitu saja sampai tintanya habis, pena-nya patah, atau kertasnya tiada tersisa lagi.

Babak 3. Cerita yang Seperti Apa?
Penulis, apalagi yang di tangannya terdapat pena yang indah nan menggoda, disuguhi dengan limpahan tinta baru, dan kertas yang tiada habisnya, sudah sewajarnya merasakan dorongan besar sekali untuk menulis—terlepas apakah perlu atau tidaknya. Seperti kehilangan kontrol, penulis akan bercerita sejadi-jadinya tentang apa saja mengenai yang dipujakan hati, diagungkan jiwa, digaungkan kepala. Terus begitu sampai entah dia merasa cukup bercerita, atau seluruh sumber dayanya habis. 

Anggaplah pada suatu masa, ceritanya berakhir di suatu titik—selesai atau tidak selesai. Maka tiba saat penulis melihat karyanya, setelah capek-capek dia menulis panjang lebar. Dilihatnya sajak, cerita, berita, apa pun yang tertulis di sana, dan berakhir pada dua simpulan: dia merasa beruntung karena karyanya bagus, atau dia merasa sia-sia karena karyanya buruk luar biasa. 

Begitulah, pada akhirnya bukan perihal sumber daya sebanyak-banyaknya, atau proses menulis yang gencar-gencarnya siang dan malam, tapi mengenai karya di akhirnya. Penulis itu pada akhirnya jatuh dalam dosa, dan pahala, dan bingung, ketika membaca ceritanya sendiri. Tiada paham dia dengan apa yang dilakukan selama ini, karena pena-nya dijenuhi oleh tinta, yang tiada habis-habisnya.

Babak 4. Penulisan Cerita yang Baik
Perlu kusampaikan bahwa dalam tiap diri penulis tentu memiliki sebatang pena hati, dan kertas-kertas potensi dalam bentuk otak dan otot untuk melakukan realisasi. Tinggal yang tersisa adalah tinta sebelum penulis dapat bercerita. 

Seorang penulis yang baik tentu merencanakan betul tiap-tiap karyanya, mengetahui sumber daya yang diperlukan, sebesar apa, jelas betul. Maka ketika tinta-tinta cinta tiba sekonyong-konyong, penulis yang menginginkan cerita terbaik tidak melulu mengambil semua tinta-tinta itu. Dipilihnya hanya tinta-tinta yang dia yakini sesuai dengan kebutuhan, dan dalam jumlah yang secukupnya saja. Selanjutnya, dia teteskan tinta itu ke pena sesuai yang dia tentukan, tidak semua-muanya masuk sekaligus, tentu pena-nya akan penuh dan bocor kemana-mana, membasahi kertas putih di hadapannya. 

Ketika dia mulai menulis, dipilihnya kata-kata terbaik dalam merealisasikan isi hatinya, isi cintanya, dalam kertas tingkah laku yang damai dan tentram, tidak grasa grusu mengikuti hawa nafsu yang menggebu. Dituliskannya satu kata, diceknya kata itu, jika kurang tepat akan segera diperbaiki. Benar-benar setiap kata, kalimat, diperhatikan, khawatirnya merugikan pihak yang dicintai, membuat dirinya terluka. Ah, mana mungkin seorang penulis sejati membiarkan tokoh protagonisnya dilecehkan dan diarahkan ke jalan kesesatan, tidaklah itu sesuai dengan tata Krama kepenulisan mendasar kau tahu! Pada waktu-waktu tertentu, berkala dan berkali, dia angkat kertas itu, dibacanya cerita yang dibuat, diterkanya apa langkah selanjutnya, alur apa yang akan dicanangkan setelahnya, jelas dan taat demi hasil akhir yang baik.Lain dari itu, penulis yang baik selalu meminta umpan balik terhadap tulisannya. Maka secara berkala dia ceritakan tulisannya, tulisan tentang cinta kasihnya pada sang idola, bidadari atau bidadara surga yang turun ke bumi itu, supaya diketahui dan diperbaiki ceritanya itu oleh orang lain, biar banyak pendapat dan koreksi untuk kesempurnaan begitu.

Babak 5. Penulisan Cerita yang Buruk
Kau pikirkan saja sendiri, ku pikir kau punya kapasitas untuk itu. Intinya: hawa nafsu, rendahnya kontrol terhadap diri, keinginan untuk melepaskan semuanya secara bersamaan, dan ketiadaan tanggung jawab di saat justru itu amat diperlukan.

Babak 6. Sifat-sifat Penulis
1. Penulis sangat jarang bercerita pada kalian, karena dia selalu sibuk dengan isi kepalanya sendiri
2. Penulis tidak memerlukan jawaban, karena pertanyaan yang dia buat semuanya telah dia ketahui jawabannya
3. Penulis tak acuh pada balasan dan pujian, karena buatnya yang penting adalah dia dan ceritanya

Ya, begitulah, seorang yang jatuh cinta dengan sebenar-benarnya amat takut dan khawatir ketika akan bercerita tentang perasaannya. Baginya, cukuplah dia dan kepalanya yang menyimpan perasaan cinta itu, tak perlu lah diumbar kemana-mana supaya semua orang tahu. Cinta itu cukup disimpan buat dirinya sendiri. Terkadang pula, ada masa dia merasa tak perlu cinta terucap, karena khawatir hanya membuat yang dicintai pergi dan enggan dengannya, maka dia memilih diam. Pun ketika saatnya dia bercerita tentang rasa itu, semua tak lebih dari supaya yang dicintai tahu saja, bukan tentang balasan yang sama. Buatnya, terserahlah si cinta ingin mengapa-apakan perasaannya, yang penting dia tetap cinta pada si cinta nya itu. 

Karena sebenar-benarnya, seperti seorang penulis yang puas dengan cukup ceritanya saja, seorang yang benar-benar jatuh cinta sudah penuh hatinya dengan perasaannya sendiri. Tidak ada yang lebih dari itu.

Epilog
Sesungguhnya perumpamaan ini amatlah dangkal, sedangkal lidah memahami rasa, atau hidung mendeskripsikan bau, tidak pernah akurat dengan yang sebenarnya. Cinta tiada satu pun mampu menjelaskan, dan dia akan jelas sendirinya ketika tiap-tiap kamu merasakannya sendiri. Selamat jatuh cinta. Ya, cinta adalah kejatuhan. Dia adalah kejatuhan hati pada harapan, angan-angan, ekspektasi, dan hal-hal gila lainnya yang tak mampu kau jelaskan, sampai kau khatam dengan luka dan rasa pahit jatuh cinta itu sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

2023: Sebuah Rangkuman

Ode of A Farewell.

too fall, too love.